depresi pada lansia


1.      Pengertian
                        Depresi merupakan gangguan perasaan dengan ciri-ciri antara lain: semangat berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur, dan makan. Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala psikologik antara lain adalah: menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul kurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh diri. Gejala somatik antara lain: penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat, apatis, bicara dan gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, isomnia, dan konstipasi (Maramis, 2005).
2.      Faktor Predisposisi
a.       Gangguan efektif riwayat keluarga atau keturunan (faktor genetik).
b.      Perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri ( teori agresi menyerang kedalam).
c.       Perpisahan traumatic individu dengan benda atau yang sangat berarti ( teori kehilangan).
d.      Konsep diri yang negatif dan harga diri rendah (teori organisasi kepribadian).
e.       Masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap dunia seseorang dan terhadap stressor (teori kognitif)
f.       Keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang penting dalam kehidupannya (model ketidakberdayaan).
g.      Kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan (model perilaku).
h.      Perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama masa depresi, termasuk defisiensi katekolamin, disfungsi endokrin, hipersekressi kortosol, dan variasi periodik dalam irama biologis model biologik. (Stuart dan Sundeen, 1998).


3.      Etiologi
                  Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik, biologik, dan sosio-budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini saling berinteraksi.
      a).  Faktor Psikososial
                  Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit Kaplan dan Sadock (1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan karena kehilangan obyek cinta kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari aspek cinta tersebut. Menurut model Cognitif Behavioural Beck (1974) cit Kaplan dan Sadock (1997), depresi terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interprestasi yang negatif terhadap pengalaman hidup dan harapan pengalaman hidup dan harapan yang negatif untuk masa depan.
       b). Faktor Biologik
            1).  Disregulasi biogenik amin
                              Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi terdapat abnormalitas metabolitas biogenik amin (5- hydroxy indolacetic acid, homouanilic acid, 3-methoxy-4 hydroxy phenylglycol). Hal ini menunjukkan adanya disregulasi biogenic amin, serotonin, dan norepineprin yang merupakan nurotransmiter paling terkait dengan patofisiologi depresi.
             2). Disreguloasi Neuroendokrin
                              Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin. Organ ini menerima input neuron yang mengandung neurotransmister biologik amin. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung biogenik ami (Amir, 1998).
       c). Faktor Genetik
                  Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi. Berdasarkan studi lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta studi linkage terbukti adanya faktor genetik dan depresi.
4.   Tanda dan Gejala
                        Frank J.Bruno (cit. Samsyddin, 2006) mengemukakan bahwa ada beberapa tanda dan gejala depresi, yakni:
            a). Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan.
            b).  Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.
            c). Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian orang depresi sulit tidur,. Tetapi dilain pihak banyak orang yang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.
            d).  Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya.
            e).  Kurang Energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa lelah.
            f). Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak efektif. Orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri.
            g). Kapasitas menurun untuk bisa berfikir dengan jernih dan untuk memecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu.
            h). Perilaku merusak diri tidak langsung. Contohnya: penyalahgunaan alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. Makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypogliycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
               i). Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri. (tentu saja, bunuh diri yang sebenarnya, merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung.
        5.   Tingkat Depresi
            Depresi menurut PPDGJ-III (2001) dibagi dalam tiga tingkatan yaitu depresi ringan, depresi sedang, depresi berat. Dimana perbedaan antara episode depresif ringan, sedang dan berat terletak pada penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah, bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan.

            a).  Depresi Ringan
-          Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresif seperti tersebut diatas.
-          Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.
-          Tidak boleh ada gejala beratnya diantaranya.
-          Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.
-          Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.
            b).  Depresi Sedang
-          Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode depresi ringan.
-          Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaliknya 4) dari gejala lainnya.
-          Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.
-          Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan rumah tangga.
            c).  Depresi Berat
-       Semua 3 gejala depresi harus ada.
-          Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat.
-          Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok, maka pasien mungkin  tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
-          Episode depresif biasanya berlangsung sekurang-kuarangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejalanya aman berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.
-          Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf  yang sangat terbatas.
  1. Penatalaksaan Depresi
Penatalaksaan depresi pada lansia meliputi beberapa aspek, antara lain:
a).  Farmakoterapi
            Respon terhadap obat pad usia lanjut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain farmakokinetik dan farmakodinamik. Faktor-faktor farmakokinetik antara lain: absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ereksi obat akan mempengaruhi jumlah obat yang dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-faktor farmakodinamik antara lain: sensitivitas reseptor, mekanisme homeostatik akan mempengaruhi antisitas efek farmakologik dari obat tersebut.
            Obat-obat yang digunakan pada penyembuhan depresi usia lanjut antara lain:
-          Anti Depresan Trisiklik
-          Irreversible Monoamin Oxsidase A-B Inhibitor (MAOIs)
-          Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)
-          Selective Serotonin Reuptake Enhacer (SSRIs)
-          Penstabil Mood (Mood Stabilizer)
-          Electroconvulsive Teraphy (ECT)
           b).  Psikoterapi
                        Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psiloterapi genetic dinamik.
                  1).  Psikoterapi suportif
                                    Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan mental yang ada, mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih baik untuk mempertahankan control diri, dan dapat mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Cara-cara psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis, persuasi atau bujukan, sugesti penjaminan kembali, bimbingan dan penyuluhan, terapi kerja, hipnoterapi dan narkoterapi kelompok, terapi perilaku.
                   2). Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).
                        Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi reeduaktif dan psikoterapi rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak dialam sadar, dengan usaha berencana untuk penyesuaian diri kembali, memodifikasi tujuan , dan membangkitkan serta mengungkapkan potensi reaktif yang ada. Cara psikoterapi reedukatif antara lain: terapi hubungan antara manuasia, terapi sikap, terapi wawancara, analisa dan sintesa yang distributive, konseling terapetik, terapi kerja, reconditioning, terapi kelompok yang reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain: Psikoanalisa Freud, Psikoanalisis non-Frreu, psikoanalisis non-Freudian, dan psikoterapi yang berorientasi pada psikoanalisanya (misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa, narkoterapi, terapi main, terapi seni, dan terapi kelompok analitik.
            c).  Manipulasi lingkungan
                        Lingkungan pergaulan pasien akan sangat membantu penatalaksanaan depresi pada lansia. Dimana keluarga penderita harus bersifat sabar dan penuh perhatian. Pengobatan sosiokultural dilakukan dengan mengurangi stresor yang ada yaitu menciptakan lingkungan yang sehat serta memperbaiki sistem komunikasi lingkungan. Selain itu keadaan fisik dan keberhasilan perlu mendapat perhatian yang optimal dan seringkali diperlukan mmanipulasi lingkungan untuk meringankan penderitaan pasien (Setabudi, 1984).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

gangguan tidur

CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT PADA ANAK

penilaian kinerja perawat