askep sindrom steven johson
A. Defenisi
Steven-Johnson
Syndrome adalah reaksi kulit drug-induced melalui mekanisme imunologi
(Ignatavicius & Workman, 2006).
Steven-Johnson
Syndrome adalah gangguan kulit yang potensial menjadi fatal (Black & Hawk,
2005).
Sindrome
Steven-Johnson merupakan sindrome yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura
(Juanda, 1993).
Syndrome
Steven-Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari eropsi
kulit, kelainan mukosa dan konjungtivitis (Junaidi, 1982).
Syndrome
Steven Johnson adalah sindrome kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir yang orfisium
dan dengan keadaan umum bervariasi dan baik sampai buruk (Mansjoer, 2000).
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun
beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai penyebab, adalah :
a. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik,
anti- peuritik ). Penisilline dan semisintetiknya, Sterptomecine, sulfonamida,
Tetrasiklin, Anti piretik / analgetik ( dentat, salisil / perazolon, metamizol,
metampiron, dan paracetamol ), Kloepromazin, Karbamazepin,
Kirin antipirin, Tegretol
b.
Inspeksi mikroorganisme (
bakteri, virus, jamur, dan parasit ).
c.
Neoplasma dan faktor
endoktrin.
d.
Faktor fisik ( sinar
matahari, radiasi, sinar x ).
e. Makanan.
C. Manifestasi Klinis
Syndrom ini jarang dijumpai pada usia 8 tahun
kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada syndrom ini
terlihat adanya trias kelainan, berupa :
a.
Kelainan kulit.
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikeldan bula. Vesikel
dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga
dapat terjadi purpura, pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
b.
Kelainan selaput lendir
Kelaianan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut
( 100 % ) kemudian disusul oleh kelainan alat dilubang genetol ( 50 % ),
sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ( masing-masing 8 % dan 4 % ).
c.
Kelainan mata.
Kelainan mata merupakan 80 % diantara semua kasus yang tersering
telah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis
parulen, peradarahan, alkus korena, iritis dan iridosiklitis. Disamping trias
kelainan tersebut dapat pula dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya :
notritis, dan onikolisis
( http://informasikesehatan40.blogspot.com )
( http://informasikesehatan40.blogspot.com )
D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh
reaksi hipersensitif tipe III dan IV. Reaksi tipe III dan IV. Reaksi tipe III
terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibody yang mikro presitipasi
sehingga terjadi aktifitas sistem komlemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan leozim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran ( target-
organ ). Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin
dilepaskan sebagai reaksi radang.
Reaksi hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibody
yang bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan
sebelah bitir. Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat
melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-sel
yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan sisa
sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
Reaksi hipersensitif tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya
( http://informasi,kesehatan40.blogspot.com )
E. Pathway
Abnormal metabolisme medikasi
Cell- mediated cytotoxic reaction
Lesi kulit dan membran mukosa
Pada kondisi yang sudah parah:
gangguan respirasi, excessive fuid loss, kebutaan dan gagal ginjal
F.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah:
a. Riwayat
konsumsi mediaksi untuk konfirmasi reaksi medikasi
b. Pemeriksaan
histologis sel
c. Immunofluorescent
studies
Tidak didapatkan pemeriksaan laboratorium yang dapat membeku
dalam menegakkan diagnosis.
a.
CBC ( complek blood count )
bisa didapatkan sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik,
peningkatan jumlah leukosit kemungkinan disebabkan karena infusi bakteri.
b.
Kultur darah, urin dan luka
merupakan indikasi bila dicurigai, penyebab infeksi.
Tes lainya :
-
Biopsi kulit memperlihatkan
luka superiderma
-
Adanya mikrosis sel
epidermis
-
Infiltrasi limposit pada
daerah ferifaskulator
( http://www.tanyadokter.com )
- Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
- Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
- Imunologi : Dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
(http://hidayatwordpress.com)
G. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneumia yang
didapati sejumlah 80 % diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain
ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan
syoek pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan laksimasi.
H. Penatalaksanaan
Tujuan: menjaga keseimbangan cairan dan elektroloit, mencegah sepsis,
mencegah komplikasi pada penglihatan.
a. Stop
semua konsumsi obat yang tidak penting
b. Jika
memungkinkan pasien dirawat diunit luka bakar.
c. Surgical
debridement atau hidroterapi untuk membuang kulit yang terlibat.
d. Kultur
kulit yang rusak untuk mengidentifikasi organisme patogen.
e. Ganti
cairan melalui NGT atau oral.
f. Terapi
kortikosteroid masih kontroversial.
g. Topical
agent untuk melindungi kulit.
h. Antibiotik
sistemik.
i. Balutan
biologis atau semipermiabel plastik untuk mengurangi nyeri, evaporasi dan
mencegah infeksi sekunder.
Pada sindrom Stevens Johnson pengangannya harus tepat dan cepat.
Penggunaan obat kostikosteroid merupakan tindakan life-saving. Biasanya
digunakan Deksamethason secara intravena, dengan dosis permulaan 4-6 X 5 mg sehari.
Pada umumnya masa kritis dapat diatasi dalam beberapa hari dengan perubahan
keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami
involusi.
Dampak dari terapi kortikosteroid dosis tinggi adalah berkurangnya
imunitas, karena itu bila perlu diberikan antibiotic untuk mengatasi infeksi.
Pilihan antibiotic hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspekrum luas
dan bersifat bakterisidal. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid
diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein.
Hal lain yang perlu diperhatikan ialah mengatur kseimbangan cairan,
elektrolit dan nutrisi. Bila perlu dapat diberikan infuse berupa Dekstrose 5%
dan larutan Darrow.
Tetapi topical tidak sepenting terapi sistemik untuk lesi di mulut dapat
diberikan kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit pada tempat yang erosif
dapat diberikan sofratul atau betadin.
KONSEP
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
a. Data Subyktif
·
Klien mengeluh demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan / sulit menelan.
b. Data Obyektif
·
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah
sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
·
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir,
stomatitis dan pseudomembran di faring
·
Konjungtiva, perdarahan sembefalon ulkus kornea,
iritis dan iridosiklitis.
c. Data Penunjang
·
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
·
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal,
spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
·
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek
imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
B. Diagnosa
Keperawatan
·
Gangguan integritas kulit b.d inflamasi dermal
dan epidermal
·
Gangguan keseimbangan cairan dan elektroloit.
·
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d kesulitan menelan.
·
Gangguan rasa nyaman nyeri b.d inflamasi pada
kulit.
·
Gangguan intoleransi aktivitas b.d kelemahan
fisik.
·
Gangguan persepsi sensori; kurang penglihatan
b.d konjungtivitis.
C. Intervensi Keperawatan
Dx 1: Gangguan integritas kulit b.d inflamasi dermal dan epidermal.
-
Observasi kulit setiap hari, catat turgor sirkulasi dan
sensori serta perubahan lainnya yang tejadi.
-
Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut.
-
Jaga kebersihan alat tenun.
-
Kolaborasi dengan tim medis.
Dx 2: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
-
Ukur status cairan tubuh, urin output.
-
Ukur TTV.
-
Kaji tanda-tanda hipovolemia.
-
Berikan cairan intravena.
Dx 3: Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d kesulitan menelan.
-
Kaji kebiasaan makan yang disukai atau yang tidak
disukai.
-
Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
-
Hidangkan makanan dalam keadaan hangat.
-
Kerja sama dengan
ahli gizi.
Dx 4: Gangguan rasa nyaman nyeri b.d inflamasi pada kulit.
-
Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan
intensitasnya.
-
Berikan tindakan kenyamanan dasar, misalnya pijitan
pada area yang sakit.
-
Pantau TTV.
-
Berikan analgetik sesuai indikasi.
Dx 5: Gangguan intoleransi aktivitas b.d kelemahan fisik.
-
Kaji respon individu terhadap aktivitas.
-
Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan
tingkatan keterbatasan yang dimiliki klien.
-
Jelaskan pentingnya pembatasan energi.
-
Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien.
Dx 6: Gangguan persepsi sensori; kurang penglihatan b.d konnjungtivitis.
-
Kaji dan catat ketajaman penglihatan
-
Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat atau
tidak.
-
Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan penglihatan
-
Orientasikan terhadap lingkungan.
-
Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima
klien.
D. Evaluasi
-
Menunjukan jaringan kulit yang utuh
-
Menunjukan keseimbangan status cairan dan elektrolit
-
Menunjukan berat badan yang stabil atau peningkatan
berat badan.
-
Melaporkan nyeri berkurang.
-
Melaporkan peningkatan toleransi aktivitas.
-
Klien dapat kooperatif pada tindakan.
Komentar
Posting Komentar