Acute Coronary Syndrome (ACS)

            Manifestasi Klinis Acute Coronary Syndrome (ACS)

Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI, 2018).

Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat ACS. Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis ACS (PERKI, 2018).

Nyeri dada pada pasien NSTEMI biasanya terasa lebih lama dan lebih berat dibandingkan pada pasien dengan unstable angina.Pada kedua kondisi tersebut, frekuensi dan intensitasnya dapat semakin meningkatkan dan tidak berkurang dengan istirahat, nitrogliserin dan bisa terjadi lebih dari 15 menit. Nyeri dada dapat menjalar ataupun tidak menjalar ke pundak, leher, punggung dan area epigastrik. Perubahan tanda-tanda vital, seperti takikardi, takipnea, hipertensi atau hipotensi, dan penurunan saturasi oksigen (SaO2) atau keabnormalitasan ritme jantung (PERKI, 2018).

Nyeri pada Acute Coronary Syndrome (ACS) dikaji dengan pola PQRST. P (presipitasi) kaji kapan nyeri dirasakan, Q (Quality) kaji seperti apa rasa nyeri yang dirasakan, R (region) kaji apakah nyeri menjalar atau tidak, S (severity) kaji skala nyeri, dan T (time) kaji onset, durasi, dan frekuensi nyeri.


A.    Klasifikasi Acute Coronary Syndrome (ACS)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan biomarka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi: Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction), Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction) dan Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) (PERKI, 2018).

Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan biomarka jantung (PERKI, 2018).

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi  thrombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik  memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner.

 

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, memicu aktivasi trombosit yang akan melepaskan tromboksan. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin ( Alwi, 2016)

Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan peningkatan biomarka jantung. Biomarka jantung yang lazim digunakan adalah high sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biomarka jantung terjadi peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI).

Pada Angina Pektoris tidak stabil biomarka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan biomarka yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang setiap terjadi angina atau setidaknya 1 kali dalam 24 jam (PERKI, 2018).

Lokasi Infark

Lead

Target arteri koroner

 

 

 

Anterior

V3, V4

LAD

 

 

 

Septal

V1, V2

LAD

 

 

 

Anteroseptal

V1, V2, V3, V4

LAD

 

 

 

High Lateral

I, aVL

LCX

Lateral

V5, V6

 

 

 

 

Inferior

II, III, aVF

RCA

 

 

 

Posterior

V7, V8, V9 atau

RCA dan/ atau LCX

 

resiprokal V1, V2, V3

 

 

 

 

Ventrikel kanan

V3R, V4R

RCA

 

 

 

Extensif Anterior

I, aVL, V1-V6

LAD, LCX

 

 

 

Tabel 1. Hubungan Lokasi Infark, Lead EKG, dan Arteri Koroner yang

   Terkena (Evardone, 2015 dan PERKI, 2018)

 

B.  Stratifikasi Resiko

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In Myocardial Infarction), dan GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification of Unstable angina patients Suppress Adverse outcomes with Early implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi risiko terjadinya perdarahan. Stratifikasi perdarahan penting untuk menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seorang dengan NSTEMI (PERKI, 2018).

Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah skor dari 7 variabel yang masing-masing setara dengan 1 poin. Variabel tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner ≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24 jam yang telah lalu, peningkatan marker jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7 hari terakhir.

Jumlah skor 0-2: risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian kardiovaskular hingga 41%) (PERKI, 2018).

Klasifikasi GRACE mencantumkan beberapa variabel yaitu usia, kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%) (PERKI, 2018).

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI, sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor, namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi (PERKI, 2018).

C.  Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis, menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri dada lainnya dan mengevaluasi adanya komplikasi SKA. Pemeriksaan Fisik pada SKA umumnya normal. Terkadang pasien terlihat cemas, keringat dingin atau didapat tanda komplikasi berupa takipnea, takikardia-bradikardia, adanya gallops S3, ronki basah halus di paru, atau terdengar bising jantung (murmur). Bila tidak ada komplikasi hamper tidak ditemukan kelainan yang berarti (PERKI, 2015).

D.  Penatalaksanaan Acute Coronary Syndrome (ACS)

1.      Terapi Medikasi

Berdasarkan PERKI (2018), penanganan awal/gawat darurat pada pasien dengan keluhan angina, sebelum didapatkan hasil pemeriksaan EKG dan atau biomarka jantung, yaitu MONA (Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin), yang tidak harus diberikn semua atau bersamaan. Adapun tahapan tatalaksana pasien dengan ACS antara lain

a.       Tirah baring

b.      Direkomendasikan mengukur saturasi oksigen perifer, oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 < 90% atau PaO2 <60 mmHg, oksigen rutin tidak direkomendasikan pada psien denga SaO2 90%

c.       Aspirin 160-320 mg segera pada semua pasien yang tidak diketahui intoleransinya terhadap aspirin.

d.      Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate), dosis awal ticagrelor yang dianjurkan 180 mg dilanjutkan dengan dosis maintenance 2x90 mg/hari, kecuali pada pasien yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik. Atau dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis maintenance 75 mg/hari, pada pasien yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik.

e.       Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak tersedia NTG, ISDN dapat dipakai sebagai.

f.       Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang 10-30 menit, bagi pasien yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual.

 

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani ACS, sebagai berikut (PERKI, 2018):

a.       Anti Iskemia

Beta Blocker. Keuntungan utama terapi ini terletak pada efeknya terhadap reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi AV node yang signifkan dan asma bronkiale. Beta blocker direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat hipertensi dan/atau takikardia. Contoh: Atenolol, bisoprolol, carvedilol, metoprolol,propranolol..

b.      Nitrat

Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan LVEDV sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner, baik yang normal maupun aterosklerosis. Contoh: ISDN, Isosorbid 5 mononitrate, Nitroglicerin. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangan keluhan dalm fase akut dari episode angina

Pasien UAP atau STEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya mendapa nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian, setelah itu dipertimbangkan penggunaan nirat intravena.

Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau hipertensi dalam 4 jam pertama UAP/NSTEMI. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90mmH atau >30mmHg dibawah nilai awal, bradikardia <50x/menit, takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang teah mengkonsumsi inhibitor fosfodiesterase: sildenafil dalam 24 jam, tadafil dalam 48 jam.

 

 

c.       Calcium Channel Blockers (CCBs)

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri sedikit atau tanpa efek ada SA node atau AV node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA node dan AV node yang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang dengan beta bloker dalam mengatasi angina. Contoh: Verapamil, Diltiazem, Nifedipin GITS (long acting), Amplodipine.

d.      Antiplatelet

Aspirin harus diberikan kepada semua pasien dengan dosis loading 150-300mg dan dosis pemeliharaan 75-100mg/hari untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan. Ticagrelol direkomendasikan untuk semua pasien dengan resiko kejadian iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis loading 180mg dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan terapi clopidogrel yang sudah dihentikan. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan ticagrelol. Dosis loading clpidogrel 300mg dilanjutkan 75mg/hari. Contoh: Aspirin, Ticagelol, Clopidogrel.

e.       Antikoagulan

Terapi antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan terapi antiplatelet. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia. Contoh: Fondaparinuks, Enoksaparin, Heparin tidak terfaksi.

Anti koagulan sebagai terapi akut pada STEMI dapat mencegah pembentukan dan progresi trombus koroner, menghambat pembentukan trombus mural ventrikel kiri dan embolisasi sistemik (termasuk serebral, trombosis vena dalam dan emboli paru) (Man et al., 2010; Antman dan Morrow, 2009 dalam Caroline dan Andrianto, 2015)

 

·           Heparin (UFH)

Jika pasien direncanakan PPCI, maka pilihan antikoagulan adalah UFH, enoxaparin dan bivalirudin. Beberapa penelitian angiografi, heparin punya peranan dalam mempertahankan patensi arteri yang terkait infark pada pasien STEMI. Dosis UFH adalah 70-100 unit/kgBB intravena bolus bila tidak diberikan inhibitor GP IIb/IIIa, 50-60 unit/kgBB intravena bolus jika diberikan inhibitor GP IIb/IIIa. Waktu paruh heparin adalah 1,5 jam, penghentian pemberian heparin dapat menormalisasi kaskade pembekuan darah dalam beberapa jam. Efek samping heparin adalah heparin-induced thrombocytopenia (HIT), perdarahan minor (di lokasi pungsi) dan mayor (retroperitoneal, gastrointestinal) sehingga perlu dilakukan monitoring jumlah trombosit (Steg et al., 2012; Kern et al., 2013 dalam Caroline dan Andrianto, 2015).

Jika pasien direncanakan fibrinolisis, UFH yang diberikan dosis 60 unit/kgBB intravena bolus (maksimal 4000 unit) dilanjutkan diberikan secara infus 12 unit/kgBB/jam (maksimal 1000 unit) dengan mempertahankan APTT 1,5-2 kali kontrol. UFH diberikan setidaknya selama 48 jam setelah fibrinolisis sampai revaskularisasi (Steg et al., 2012; Man et al., 2010 dalam Caroline dan Andrianto, 2015).

·         Low molecular weight heparin (LMWH)

LMWH merupakan heparin fraksional dengan berat molekul antara 3000-7000 dalton (UFH sekitar 3000-30000 dalton), punya efek antikoagulan yang baik, stabil dan bioavaibilitas yang tinggi. LMWH punya waktu paruh yang lebih lama daripada heparin terikat pada antitrombin, menghambat faktor Xa sekaligus punya efek inhibisi langsung pada thrombin.

LMWH enoxaparin diberikan 0,5 mg/kgBB intravena bolus jika akan dilakukan PPCI, dan di berbagai RCT dikatakan menguntungkan dibanding UFH. Tidak ada indikasi pemberian terapi antikoagulan rutin setelah PPCI, kecuali ada indikasi lain misalnya fibrilasi atrial, penggunaan katup mekanik, trombus ventrikel kiri atau untuk profilaksis pencegahan tromboemboli vena pada pasien yang berbaring lama (Kern et al., 2013; Steg et al., 2012 dalam Caroline dan Andrianto, 2015).

Dosis enoxaparin yang direkomendasikan adalah 30 mg intravena bolus diikuti 1 mg/kgBB subkutan tiap 12 jam, diberikan 15 menit sesudahnya untuk pasien usia <75 tahun (dosis maksimal 100 mg untuk 2 dosis pertama). Jika pasien berusia >75 tahun tidak perlu dilakukan intravena bolus, melainkan 0,75 mg/kgBB subkutan tiap 12 jam (maksimal 75 mg untuk 2 dosis pertama) (Steg et al., 2012; Man et al., 2010 dalam Caroline dan Andrianto, 2015).

·         Inhibitor Faktor Xa (Fondaparinux)

Fondaparinux merupakan pentasakarida sintesis, merupakan inhibitor faktor Xa tanpa efek inhibisi trombin (Iia). Aktivitas anti Xa spesifiknya lebih kuat tujuh kali dibanding LMWH dan punya paruh waktu yang panjang (kurang lebih 17 jam).

 

Pada penelitian OASIS-6, pasien yang menjalani PCI cenderung memburuk kondisinya jika diberikan antagonis faktor Xa dibandingkan dengan UFH. (Yusuf et al., 2009; Fox et al., 2009 dalam Caroline dan Andrianto, 2015).

f.       ACE Inhibitor dan Penghambat Reseptor Angiotensin

ACE inhibitor berguna dalm mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark miocard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis. ACE inhibitor diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang. Pada pasien ejeksi fraksi ≤ 40% dan pasien dengan DM, hipertensi atau penyakit ginjal kronik. Contoh: Captopril, Ramipril, Lisinopril, Enalapril.

g.      Statin

Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary - coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, trmasuk pasien yang telah menjalani terapi revaskularisasi. Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100mg/dL. Statin mampu menurunkan kolesterol LDL sampai <70mg/dL.

 

E.     Intervensi Reperfusi Koroner

Tindakan PCI dilakukan pada stenosis yang dicurigai menjadi penyebab STEMI secara anatomis. Pasien dengan syok kardiogenik atau gagal jantung berat biasanya dapat ditemui pada rumah sakit yang tidak mampu melakukan tindakan PCI, sebaiknya harus segera dirujuk untuk dilakukan kateterisasi atau revaskulerisasi secepatnya, tanpa tergantung pada penundaan waktu dari awitan gejala infark miokardium. Angiografi dan revaskularisasi sebaiknya tidak dilakukan selama 2-3 jam setelah pemberian terapi fibrinolitik (PERKI, 2018).

a.      PCI (Percutaneous Coronary Intervention)

PCI adalah prosedur intervensi non bedah dengan menggunakan kateter untuk melebarkan atau membuka pembuluh koroner yang menyempit dengan balon atau stent.

Sebuah stent arteri koroner adalah perangkat berbentuk kawat tabung jala kecil yang digunakan untuk melebarkan arteri yang sempit atau lemah. Sebuah stent ditempatkan di arteri coroner yang mensuplai darah ke jantung, untuk menjaga arteri terbuka dalam pengobatan ACS. Tanpa stent sekitar 30-40% pasien mengalami kekambuhan kembali akibat restenosis (PERKI, 2018).

Tindakan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dapat dilakukan dengan memasang stent bersalut obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES merupakan stent bersalut obat yang mempunyai efek antiploriferatif dan antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima. Supaya obat dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan mengalami difusi secara perlahan masuk ke dinding pembuluh (PERKI, 2018).

Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila dikembangkan, maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi redistribusi plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan angioplasty balon biasa. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis (Sudoyo, 2010). Tindakan PCI diindikasikan pada STEMI akut onset <12 jam (disebut PCI primer), non STEMI akut highrisk (disebut early PCI), penyakit jantung koroner (stenosis arteri coroner bermakna) dan kontraindikasi pada pasien dengan perdarahan, stroke, anafilaktik, thrombosis, efusi pericardium (PERKI, 2018).

Ada beberapa jenis PCI yaitu:

1.    Primary PCI

Menurut panduan ESC, hanya rumah sakit yang memiliki kemampuan memberikan pelayanan kardiologi intervensi selama 24 jam syang sebaiknya melakukan PPCI sebagai terapi rutin. Dalam dekade terakhir, PPCI menjadi terapi reperfusi yang utama di Eropa, meskipun jarak tempuh ke rumah sakit yang mampu melakukan PPCI cukup jauh. Dibandingkan dengan terapi fibrinolitik, PPCI menghasilkan patensi arteri terkait infark dan aliran TIMI 3 yang lebih tinggi, menurunkan angka iskemia dan infark berulang, selain itu juga menurunkan prosedur revaskulerisasi berulang segera, menurunkan perdarahan intra kranial dan menurunkan angka kematian (Steg et al., 2013 dalam Caroline dan Adrianto, 2015). Jika PPCI tidak dapat dilakukan dalam waktu 120 menit oleh tim medis kontak pertama, fibrinolisis sebaiknya dilakukan pre hospital (di ambulans misalnya) dan dalam waktu 120 menit dari onset gejala.

2.      Rescue PCI

Dilakukan PCI setelah gagal dengan terapi fibrinolitik pada pasien infark luas yang disertai hemodinamik tidak stabil atau dengan aritmik, keluhan angina berkepanjangan/progresif, syok kardiogenik (ESC, 2017). Urgent PCI, PCI yang dilakukan secepatnya dimana ada indikasi hemodinamik tidak stabil, aritmia maligna, angina dengan terapi, EF <40%, gagal jantung, riwayat PCI, CABG dalam 6 bulan terakhir dilakukan pada 2-24 jam. Early PCI : PCI yang dilakukan pada pasien dalam waktu 24 jam pertama sampai 72 jam dan sudah mendapatkan fibrinolitik terlebih dahulu. Biasanya dilakukan pada pasien Non STEMI akut highrisk.



b. Terapi Fibrinolitik Atau Trombolitik

ibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama untuk kondisi dimana PPCI tidak dapat dilakukan pada pasien STEMI sesuai kondisi yang direkomendasikan. Meskipun PPCI lebih superior dibanding dengan terapi trombolitik, banyak daerah PPCI tidak dapat dilakukan (terutama dalam 3 jam pertama presentasi klinis). Oleh karena itu di lingkup internasional, fibrinolisis merupakan terapi reperfusi yang paling sering digunakan. Tujuan terapi fibrinolitik adalah untuk mendapatkan patensi awal, memperluas area penyelamatan miokardium, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan mortalitas. Penurunan mortalitas dapat dicapai secara dramatis jika terapi dicapai dalam jam pertama (golden first hour) (PERKI, 2018).

 

 


 

 

 

 

 

Gambar 3.  Algoritma Evaluasi dan Tatalaksana ACS

 

A.    Pemeriksaan Penunjang

Jika diduga SKA, dilakukan pemeriksaan EKG 12 sadapan dalam waktu 10 menit untuk mengidentifikasi terjadi:

a.         Depresi segmen ST dengan atau tanpa inverse gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q  -à unstable angina pectoris

b.        Elevasi segmen ST atau onset baru Left Bundle Brach Block (LBBB)/ kompleks QRS melebar à indikasi STEMI

c.         Depresi segmen ST à indikasi iskemia

d.        Depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam à infark miokard non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI

e.         Non diagnostik atau EKG normal

Selain EKG, pemeriksaan penunjang lainnya yakni pemeriksaan biokimia/enzim jantung. Enzim jantung yang dapat diperiksa adalah troponin I (TnI), troponin T (TnT), troponin C, serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB (CK-MB), dan mioglobulin. Untuk jenis TnI dan TnT lebih sensitif untuk mendeteksi kerusakan sel miokard karena susunan asam aminonya hanya spesifik dengan sel miokard dibanding troponin C yang susunan asam aminonya sama dengan sel miokard dan rangka (PERKI, 2018).

Keuntungan pemeriksaan TnI dan TnT yaitu lebih spesifik dari CK-MB, dapat mendeteksi serangan IM hingga 2 minggu setelahnya dan mendeteksi reperfusi. Namun TnT dan TnI muncul setelah 6 jam pasca serangan, jika nilai negatif pada onset <6 jam, maka dilakukan pemeriksaan ulang pada 6-12 jam pasca serangan. Sedangkan untuk CKMB yaitu deteksi awal infark dan cepat, namun waktu kehilangan sensitifnya jika dideteksi < 6 jam atau sesudahnya setelah 36 jam pasca serangan. Keuntungan mioglobin yaitu deteksi awal IM, deteksi reperfusi, namun cepat kembali normal dalam 6 jam dan kurang sensitif terhadap miokard. High Sensitivity Troponin T memiliki sensitivitas lebih tinggi dari Troponin T (PERKI, 2018).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah rontgen dada untuk membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi, dan penyakit penyerta.

MSCT dapat digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinansebagai penyebab nyeri pada pasien dengan kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG tidak meyakinkan. Ekokardiografi Transtorakal (TTE), termasuk dalam pemeriksaan semi-invasif. Pemeriksaan TEE saat istirahat dapat memberikan gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis banding. Hipokinesia atau akinesi segmental dari dindingventrikel kiri dapat terlihat saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu diagnosis banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertropik, atau diseksi aorta dapat dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan TEE saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien terdiagnosa ACS.

Angiografi coroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi trombotik akut, misalnya arteri sirkumfleks, sangat penting pada pasien yang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan perubahan EKG diagnostic. Pada pasien dengan multipeloklusi dan dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki faktor risiko tinggi untuk kejadiaan kardiovaskular yang serius. Angiografi koroner disertai perekaman EKG dan abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara laineksentrisitas, batas yang regular, ulserasi, penampakan yang kabur, dan filling defect yang menegaskan adanya trombus intrakoroner (ESC, 2017).

 

 

 

B.  Komplikasi

SKA dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah gangguan irama dan gangguan pompa jantung. Gangguan irama dapat bersifat fatal bila menyebabkan henti jantung, misalnya pada VF dan VT tanpa nadi. Komplikasi gangguan pompa jantung dapat menyebakan gagal jantung akut. Komplikasi gagal jantung pada ACS STEMI diklasifikasikan dalam klasifikasi Killip. Berikut ini klasifikasi Killip dan kaitan dengan mortalitas di RS.

Klas

Killip

Mortalitas RS (%)

 

I

Tidak ada komplikasi

 

6

 

 

 

 

 

 

II

Gagal jantung : ronki, S3, tanda bendungan paru

 

17

 

 

 

 

 

 

III

Edema paru

 

38

 

IV

Syok Kardiogenik

 

81

 

 (PERKI, 2015)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT PADA ANAK

penilaian kinerja perawat

gangguan tidur