Cardiac heart Failure (CHF)


A.    STEP 7 : PEMBAHASAN LO
1.    Defenisi Gagal Jantung
      Gagal jantung adalah suatu keadaan ketika jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh, meskipun tekanan pengisian vena normal (Muttaqin, 2009).
      Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk untuk memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Brunner & Suddarth, 2010).
    Gagal jantung adalah suatu sindrom kompleks yang terjadi akibat gangguan jantung yang merusak kemampuan ventrikel untuk mengisi dan memompa darah secara efektif  (LeMone, M.Burke, & Bauldoff, 2015).

2.    Klasifikasi Gagal Jantung
Tingkat keparahan gagal jantung sering diklasifikasikan berdasarkan gejala pasien . Klasifikasi New York Heart Association (NYHA) dijelaskan pada Tabel 1 dan American College of Cardiology dan American Heart Association (ACC dan AHA
) telah mengembangkan sistem klasifikasi gagal jantung dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 1 Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA
NEW YORK HEART ASSOCIATION (NYHA)
CLASSIFICATION OF HEART FAILURE
Klasifikasi
Tanda dan Gejala
Prognosis
Kelas I
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
Baik
Kelas II
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
Baik
Kelas III
Terdapat Batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi dan kelelahan
Sedang
Kelas IV
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas
Berat

Klasifikasi
Kriteria
Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda gejala
Stadium C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Stadium D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter)
              
  Sumber: (Brunner & Suddarth, 2010)

3.    Etiologi Gagal Jantung
1)      Disfungsi miokard paling sering disebabkan oleh penyakit arteri koroner, kardiomiopati, hipertensi, atau kelainan katup. Pasien dengan diabetes melitus juga berisiko tinggi untuk gagal jantung (Brunner & Suddarth, 2010).
a)      Aterosklerosis koroner adalah penyebab utama gagal jantung, dan penyakit arteri koroner ditemukan pada lebih dari 60% pasien dengan gagal jantung.
b)      Kardiomiopati adalah penyakit miokardium. Ada tiga jenis: dilatasi, hipertrofi, dan restriktif. Kardiomiopati dilatasi, jenis kardiomiopati yang paling umum, menyebabkan nekrosis dan fibrosis seluler yang difus, yang menyebabkan penurunan kontraktilitas (kegagalan sistolik). Kardiomiopati dilatasi dapat bersifat idiopatik (penyebab tidak diketahui) atau dapat terjadi akibat proses peradangan, seperti miokarditis, atau dari agen sitotoksik, seperti alkohol atau doxorubicin (Adriamycin). Kardiomiopati hipertrofik dan kardiomiopati restriktif menyebabkan penurunan distensibilitas dan pengisian ventrikel (kegagalan diastolik). Biasanya, gagal jantung akibat kardiomiopati menjadi kronis dan progresif. Namun, kardiomiopati dan gagal jantung bisa sembuh setelah penghilangan agen penyebab, seperti penghentian konsumsi alkohol.
c)      Hipertensi sistemik atau pulmonal meningkatkan afterload (resistensi terhadap ejeksi), yang meningkatkan beban kerja jantung dan menyebabkan hipertrofi serat otot miokard. Ini dapat dianggap sebagai mekanisme kompensasi karena meningkatkan kontraktilitas. Namun, hipertrofi dapat mengganggu kemampuan jantung untuk mengisi dengan baik selama diastole, dan ventrikel yang mengalami hipertrofi akhirnya dapat melebar dan gagal.
d)     Penyakit jantung valvular juga merupakan penyebab gagal jantung. Katup memastikan bahwa darah mengalir dalam satu arah. Dengan disfungsi katup, darah semakin sulit bergerak maju, meningkatkan tekanan di dalam jantung dan meningkatkan beban kerja jantung, yang mengarah ke gagal jantung.
2)      Faktor sistemik
kondisi sistemik, termasuk gagal ginjal progresif dan hipertensi yang tidak terkontrol, berkontribusi terhadap perkembangan dan keparahan gagal jantung. Penyakit akut seperti pneumonia dengan demam dan hipoksia meningkatkan laju metabolisme dan dapat memicu gagal jantung. Semua kondisi ini membutuhkan peningkatan CO untuk memenuhi kebutuhan oksigen sistemik, dan mereka menekankan miokardium yang dikompromikan. Disritmia jantung dapat menyebabkan gagal jantung atau mungkin akibat gagal jantung; Bagaimanapun, stimulasi listrik yang diubah merusak kontraksi miokard dan mengurangi efisiensi keseluruhan fungsi miokard. Faktor-faktor lain, seperti asidosis (pernapasan atau metabolisme), kelainan elektrolit, dan obat antiaritmia, dapat memperburuk fungsi miokard.

4.    Manifestasi klinis  Gagal Jantung
  Manifestasi gagal jantung sebelah kiri terjadi akibat kongesti paru dan penurunan curah jantung. Keletihan dan intoleransi aktivitas adalah manifestasi awal biasa terjadi. Pusing dan sinkop juga dapat terjadi akibat penurunan curah jantung. Kongesti paru menyebabkan dispnea, sesak napas pendek dan batu. Pasien dapat mengalami ortopnea (sulit bernapas saat berbaring terlentang), yang membutuhkan pemakaian dua atau tiga bantal atau sandaran bila tidur. Sianosis akibat pertukaran gas dapat terlihat. Pada auskultasi paru, ronki inspirasi dan mengi dapat terdengar pada dasar paru. Galop S3 juga dapat muncul, mencerminkan upaya jantung untuk mengisi ventrikel yang sudah distensi.
  Pada gagal jantung sebelah kanan, peningkatan tekanan pada vaskular paru atau kerusakan otot ventrikel kanan merusak kemampuan ventrikel kanan untuk memompa darah menuju sirkulasi pulmonaris. Ventrikel dan atrium kanan menjadi distensi dan darah terakumulasi dalam sistem vena sistemik. Peningkatan tekanan vena menyebabkan organ abdomen menjadi kongesti dan adema jaringan perifer terjadi. Jaringan yang terganggu cenderung terkena efek gravitasi. Edema terjadi pada kaki dan tungkai atau jika pasien tirah baring, pada sakrum. Kongesti pada pembuluh darah saluran pencernaan menyebakan anoreksia dan mual. Vena leher distensi dan menjadi semakin terlihat bahkan saat pasien tegak akibat peningkatan tekanan vena
Penurunan curah jantung mengaktifkan penigkatan retensi garam dan air. Sehingga menyebabkan kenaikan berat badan dan menigkatkan tekanan lebih lanjut dalam kapiler yang menyebabkan edema. Nokturia, berkemih lebih dari satu kali pada malam hari, terjadi saat cairan edema dari jaringan yang terganggu direabsorbsi saat pasien telentang . Dispnea nokturna paroksismal (paroxysmal nocturnal dyspnea, PND), suatu kondisi menakutkan yakni pasien terbangun pada malam hari karena maengalami napas pendek akut, juga dapat terjadi. Dispnea nokturna paroksismal terjadi saat caira edema yang terakumulasi selama siang hari direabsorbsi ke dalam sirkulasi pada malam hari, menyebabkan kelebihan beban cairan dan kongesti paru. Gagal jantung berat dapat menyebabkan dispnea pada saat istirahat serta pada aktivitas yang menandakan cadangan jantung sedikit atau tidak ada. Galop S3 dan S4 dapat terdengar pada saat auskultasi (LeMone et al., 2015).

5.    Patofisiologi Gagal Jantung
Sumber: (Brunner & Suddarth, 2010)


Pathway Gagal jantung



6. Komplikasi Gagal Jantung
Mekanisme kompensasi yang dimulai pada gagal jantung dapat menyebabkan komplikasi pada sistem tubuh lain. Hepatomegali kongestif dan splenomegali kongestif yang disebabkan oleh pembengkakan sistem vena porta menimbulkan peningkatan tekanan abdomen, asites dan masalah pencernaan. Pada gagal jantung sebelah kanan yang lama, fungsi hati dapat terganggu. Distensi miokardium dapat memicu disritmia, mengganggu curah jantung lebih jantung. Efusi pleura dan masalah paru lain dapat terjadi. Komplikasi mayor gagal jantung berat adalah syok kardiogenik dan edema paru akut (LeMone et al., 2015).

7.  Pemeriksaan Diagnostik Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung didasarkan pada riwayat, pemeriksaan fisik dan temuan diagnostik (LeMone et al., 2015)
1.      Faktor natriuretik (ANF), juga disebut hormone natriuretic atrium (atrial natriuretic hormone, ANH), dan peptide natriuretic tipe-B (B-type natriuretic peptide, BNP) adalah hormon yang dilepaskan dari otot jantung sebagai respon terhadap perubahan volume darah. Kadar hormon ini dalam darah meningkatkan gagal jantung, meskipun begitu penting untuk mengingat bahwa kadar BNP dapat naik pada wanita dan pada orang berusia diatas 60 tahun yang tidak menderita gagal jantung. Dengan demikian kenaikan BNP tidak dapat digunakan tunggal untuk mendiagnosis gagal jantung.
2.      Elektrolit serum diukur untuk mengevaluasi status cairan dan elektrolit. Osmolalitas serum dapat rendah akibat retensi cairan. Kadar natrium, kalium, dan klorida menyediakan dasar untuk mengevaluasi efek terapi, kalsium dan magnesium juga diukur.
3.      Urinalisis, nitrogen urea darah (BUN), dan kreatinin serum diambil untuk mengevaluasi fungsi ginjal.
4.      Pemeriksaan fungsi hati termasuk ALT, AST, dan LDH, bilirubin serum dan kadar protein total dan albumin, dilakukan untuk mengevaluasi efek gagal jantung yang mungkin pada fungsi hati.
5.      Pemeriksaan fungsi tiroid, termasuk kadar TSH dan LH, dilakukan karena baik hipertiroidisme maupun hipotiroidisme dapat menjadi penyebab utama atau penyerta gagal jantung.
6.      Pada gagal jantung akut, gas darah arteri (ABG) diambil untuk mengevaluasi pertukaran gas pada jaringan dan paru.
7.      Sinar X dada dapat menunjukkan bendungan vascular paru dan kardiomegali pada gagal jantung.
8.      Elektrokardiografi digunakan untuk mengidentifikasi perubahan EKG yang terkait dengan pembesaran ventrikel dan mendetiksis aritmia, iskemia miokardium, infark.
9.      Ekokardiografi dengan studi aliran Doppler dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.
10.  Pencitraan radionuklida digunakan untuk mengevaluasi fraksi dan ukuran ventrikel.

8. Penatalaksanaan Gagal Jantung
Tabel 3 Penatalaksanaan gagal jantung berdasarkan stadium
Klasifikasi
Kriteria
Upaya Penanganan Yang Dianjurkan
Stadium A
Memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan struktural atau fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala.
Tangani faktor risiko dasar (mis.hipertensi) termasuk gangguan lemak
Inhibitor ACE atau terapi penyekat reseptor-beta
 ( angiotensin -receptor blocker, ARB)
Latihan fisik
Pembatasan garam
Berhenti merokok
Hentikan alkohol, pemakaian obat terlarang
Kontrol glukosa darah pada pasien sindroma metabolik

Stadium B
Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda gejala
Sama seperti stadium A
Inhibitor ACE atau terapi ARB sesuai kebutuhan
Terapi penyekat beta jika diindikasikan

Stadium C
Gagal jantung yang simtomatik berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari
Sama seperti stadium A dan B
Terapi obat dengan diuretic, inhibitor ACE, dan atau penyekat beta
Obat-obatan tambahan sesuai indikasi, seperti antagonis aldosterone, ARB, digitalis, hidralazin, nitrat
Pemacuan Ventrikel atau defibrillator yang dapat ditanam (ICD) sesuai indikasi 
Stadium D
Penyakit jantung struktural lanjut serta gejala gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal (refrakter)
Sama seperti stadium A,B, dan C sesuai kebutuhan
Asuhan hospice
Monitoring hemodinamik
Infus kontinu agen inotropik positif
Penggantian katup, transplantasi jantung sesuai indikasi
Bantuan mekanik permanen, pembedahan eksperimental atau obat.


            Sumber: (LeMone et al., 2015)
Tujuan penatalaksanaan pasien gagal jantung adalah untuk mengurangi beban kerja jantung , meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan farmakologis dan menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik , diet dan istirahat.
1.      Pemberian medikasi  (LeMone et al., 2015)
a)    Inhibitor Angiotensin–Converting Enzyme (ACE): Enalapril (vasotec), Captopril (Capoten), Moexipril (univasc), Quinapril (Accupril), Trandolapril (Mavik), Lisinopril (Prinivil, Zestril), Fosinopril (Monopril), Perindropil (Aceon), Ramipril (Altace)
Indikasi pemberian ACEI:
Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% dengan atau tanpa gejala
Kontraindikasi pemberian ACEI:
1)      Riwayat angioedema
2)      Stenosis renal bilateral
3)      Kadar kalium serum > 5,0 mg/dL
4)      Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
b)   Penyekat beta angiotensin II (ARB): Candesartan (Atacand), Losartan (Cozaar), Telmisartan (Micardis), Irbesartan (Avapro), Nesiritida (Natrecor), Vaisartan ( Diovan)
Indikasi pemberian penyekat beta angiotensin:
1)      Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
2)      Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
3)      ACEI/ARB (dan antagonis aldosterone jika indikasi) sudah diberikan
4)      Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretic, tidak ada kebutuhan inotropic i.v dan tidak ada tanda retensi cairan berat)
Kontraindikasi pemberian penyekat beta:
1)      Asma
2)      Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50 menit="" span="" x="">
Inhibitor ACE dan ARB mencegah serangan koroner akut dan mengurangi kematian akibat gagal jantun. Inhibitor ACE mengganggu produksi angiotensin II, menyebabkan vasodilatasi, penurunan volume darah, dan mencegah efeknya pada pembuluh darah. Pada gagal jantung, inhibitor ACE mengurangi afterload dan memperbaiki curah jantung dan aliran darah ginjal. Selain itu juga mengurangi kongesti paru, dan edema perifer. Inhibitor ACE menekan pertumbuhan miosit dan menurunkan remodeling ventrikel pada gagal jantung. Sementara efek farmakologik ARB adalah serupa, obat ini menghambat kerja angiotensin II pada reseptor bukan mengganggu produksinya.
c)      Diuretik: Klorotiazid (Diuril), Furosemid (Lasix), Asam etakrinat (Edecrin), Bumatedin (Bumex), Toresemid (Demedex), Hidroklorotiazid (HydroDiuril), Spironolakton (Aldactone), Triamteren (Dyrenium), Amilorida (Midamor), Asetazolamida (Diamox), Metalazon (Zaroxolyn)
Diuretik bekerja pada bagian tubulus ginjal yang berbeda untuk menghambat reabsorpsi natrium dan air dan meningkatkan eksresinya. Kecuali diuretik hemat -kalium-spironolakton , triamteren, dan amilorida. Diuretik juga meningkatkan eksresi kalium, meningkatkan risiko hipokalemia. Tujuan dari pemberian diuretic adalah untuk mencapai status euvolemia dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau resistensi.
Cara pemberian diuretik pada pasien gagal jantung:
1)      Pada saat pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
2)      Dianjurkan untuk memberikan diuretic pada saat perut kosong
3)      Sebagian besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid karena efisiensi diuresis dan natriueuresis lebih tinggi pada diuretic loop. Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang resisten
4)      Mulai dengan dosis yang kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda kongesti
5)      Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis diuretic sesuai kebutuhan berdasarkan berat badan harian dan tanda-tanda klinis dari retensi cairan
d)     Agen Intropik Positif
1)      Digitalis Glikosida: Digoksin (Lanoxin), Digoksin (Lanoxin)
Digitalis memperbaiki kontraktilias miokardium dengan mengganggu ATP-ase dalam membran sel miokardium dan meningkatkan jumlah kalsium yang tersedia untuk kontraksi. Peningkatan tenaga kontraksi menyebabkan pengosongan jantung lebih komplet, meningkatkan volume sekuncup dan curah jantung. Perbaikan curah jantung memperbaiki perfusi ginjal, menurunkan sekresi renin. Ini menurunkan preload dan afterload, mengurangi beban jantung. Digitalis juga mempunyai efek elektrofisiologis, memperlambat konduksi yang melewati nodus AV. Ini menurunkan frekuensi jantung dan mengurangi konsumsi oksigen.
Indikasi pemberian digoksin:
Fibrilasi atrial:
-       Dengan irama ventricular saat istirahat >80 x/menit atau saat aktivitas >110-120 x/menit
Irama sinus:
-       Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40%
-       Gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II-IV NYHA)
-       Dosis optimal ACEI dan/atau ARB, penyekat beta dan antagonis aldosterone jika ada indikasi
Kontraindikasi pemberian digoksin:
-       Blok AV derajat 2 dan 3 (tanpa pacu jantung tetap, hati-hati jika paien diduga sindrom sinus sakit)
-       Sindrom pre-eksitasi
-       Riwayat intoleransi digoksin
2)      Agen simpatomimetik: Dopamin ( Inotropin), Dobutamin (Dobutrex)
Agen simpatomimetik menstimulasi jantung, memperbaiki tenaga kontraksi. Dobutamin lebih dipilih dalam penanganan gagal jantung karena tidak meningkatkan frekuensi jantung sebanyak dopamin dan mempunyai efek vasolidatorik ringan. Obat-obatan ini diberikan secara infus intravena dan dapat dititrasi untuk mendapatkan efek optimal.
3)      Inhibitor fosfodiesterase: Inamrinon (Inocor), Milrinon (Primacor)
Inhibitor fosfodiesterase digunakan dalam menangani gagal jantung akut untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium dan menyebabkan vasodilatasi. Efek bersih obat ini adalah meningkatkan curah jantung dan menurunkan afterload
e)      Calcium Channel Blockers
Generasi pertama kalsium chanel bloker, seperti verapamil (Calan), nifedipine (Procardia), dan diltiazem (Cardizem), merupakan kontraindikasi pada pasien dengan gagal jantung sistolik, walaupun dapat digunakan pada pasien dengan gagal jantung diastolik. Amlodipin (Norvasc) dan felodipine (Plendil), yang merupakan penghambat saluran kalsium dihydropyridine, menyebabkan vasodilatasi, mengurangi resistensi vaskular sistemik. Obat tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki gejala, terutama pada pasien dengan kardiomiopati non-epidemi.
f)       Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel ≤ 40%, kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternative jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB.
Indikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
1)      Pengganti ACEI dan ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
2)      Sebagai terapi tambahan ACEI jika ARB atau antagonis aldosterone tidak dapat ditoleransi
3)      Jika gejala pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat beta dan ARB atau antagonis aldosteteron
Kontraindikasi pemberian kombinasi H-ISDN:
1)   Hipotensi simtomatik
2)   Sindroma lupus
3)   Gagal ginjal berat
Inisiasi pemberian kombinasi H-ISDN:
1)   Dosis awal : hydralazine 12,5 mg dan ISDN 10mg, 2-3 x/hari
2)   Pertimbangkan menaikkan dosis secara titrasi setelah 2-4 minggu
3)   Jangan naikkan dosis jika terjadi hipotensi simtomatik
Efek tidak menguntungkan yang dapat timbul akibat pemberian kombinasi H-ISDN:
1)   Hipotensi simtomatik
2)   Nyeri sendi atau nyeri otot


2.    Nutrisi dan Aktivitas
Diet terbatas natrium dianjurkan untuk meminimalkan retensi natrium dan air. Asupan biasanya dibatasi hingga 1,5 sampai 2 gram natrium perhari,
Intoleransi latihan fisik, penurunan kemampuan untuk ikut dalam aktivitas yang memakai otot rangka besar akibat keletihan atau dispnea, adalah manifestasi awal yang umum pada gagal jantung. Aktivitas mungkin dibatasi hingga tirah baring selama episode akut gagal jantung untuk menurunkan beban kerja jantung. Namun tirah baring lama dan pembatasan aktivitas terus-menerus tidak dianjurkan. Program aktivitas sedang yang progresif dianjurkan untuk memperbaiki fungsi miokardium. Latihan fisik harus dilakukan 3 sampai 5 hari per minggu dan tiap sesi harus terdiri atas 10 sampai 15 menit periode pemanasan, 20 sampai 30 menit latihan pada intensitas yang dianjurkan, dan periode pendinginan (LeMone et al., 2015).
3.      Terapi Tambahan dan intervensi lain
Terapi oksigen mungkin diperlukan saat gagal jantung berlangsung. Kebutuhan didasarkan pada tingkat keparahan kongesti paru dan hipoksia yang dihasilkan. Beberapa pasien hanya membutuhkan oksigen tambahan selama periode aktivitas
Pada gagal jantung stadium akhir, alat untuk menyediakan bantuan sirkulasi atau pembedahan dapat dibutuhkan. Pembedahan dapat digunakan untuk menangani penyebab dasar kegagalan ( mis. Penggantian katup yang rusak) atau memperbaiki mutu hidup. Transplantasi jantung saat ini adalah penangan bedah satu-satunya yang terbukti efektif untuk gagal jantung stadium akhir (LeMone et al., 2015).

10. Pencegahan Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler. Sebagian besar penyakit kardiovaskular dapat dicegah dengan mengatasi faktor-faktor risiko perilaku seperti penggunaan tembakau, pola makan dan obesitas yang tidak sehat, aktivitas fisik yang kurang, dan penggunaan alkohol yang berbahaya. Penyakit kardiovaskular atau yang berisiko kardiovaskular tinggi (karena adanya satu atau lebih faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, hiperlipidemia atau yang sudah gagal jantung ) perlu deteksi dini dan manajemen konseling dan obat-obatan yang tepat (WHO, 2017).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT PADA ANAK

penilaian kinerja perawat

gangguan tidur